Feelings

Cinta (tak) Harus Memiliki

Mengapa ketika mendengar kalimat, cinta tak harus memiliki, ketakukan muncul?
Mengapa sebenarnya? Apa yang ditakutkan?
Mungkin karena kita tak terbiasa, kita tak pernah diajarkan merasa cinta tapi tak memiliki
Cinta pada ayah-ibu, Alhamdulillah kita miliki mereka
Cinta pada Tuhan, Alhamdulillah Ia dekat bila kita mendekat
Cinta pada teman, Alhamdulillah mereka selalu menemani kita

Lalu, bagaimana dengan konsep cinta tapi tak harus memiliki? Ketakutan itu muncul karena kita tak pernah merasakan sebelumnya.
Sama ketika melalukan suatu hal itu pertama kali, tentu ada rasa takut akan jatuh, khawatir akan tenggelam, dan lainnya.
Cinta, ada yg bilang ia berbeda dengan rasa ingin memiliki. Tapi kebanyakan hal yang kita cintai tentu kita miliki. Apakah kita menyalahkan naluri yang otomatis ingin memiliki jika mencintai? Tapi ku rasa, bagaimana dewasanya kita dalam menyikapi, rasa sakit akan ada dalam menerima kenyataan cinta tak harus memiliki.
Sekian.

Feelings

Bisa Apa

Mendengarmu sesenggekukan menangis di ujung telepon sana, aku bisa bicara apa?

Seharusnya banyak yang ingin kukatakan, semuanya ikut mengalir dalam derai air mataku yang otomatis keluar

“Hati-hati”, “Jangan lupa telepon aku”, “Jaga kesehatan”, “Doakan aku juga”, dan masih banyak lagi

Tapi berakhir pada kata “Iya, bu” yang lebih banyak kuucapkan mendengar nasihatmu

Mind

Apa yang kau ragukan?

Manusia diciptakan berbeda-beda, tak ada satu pun yang sama persis. Tuhan sungguh Maha Adil, ia memberikan si A ini dan tidak punya itu. Tapi Ia memberikan si B itu dan tidak punya ini. Keterkaitan antar sesama akan membuat manusia berinteraksi dan melalui interaksi itu ia memahami arti saling melengkapi. Di mana akhirnya kita bisa memiliki ini dan itu, bukan aku atau kamu, bukan kami atau mereka.

Tuhan, hanya ia yang berhak memiliki segalanya sekaligus. Ia yang Menciptakan, Ia yang Menguasai, Ia lah sumber dari apa-apa yang ada di bumi. Bukankah sudah jelas bahwa Tuhan tentu tak sama dengan kita, jika ia juga manusia, pastilah manusia juga bisa menjadi Tuhan dengan kemampuannya. Tapi Tuhan berbeda, Ia hanya satu.

Lalu kenapa manusia masih saja meragukan keberadaan Tuhan jika ia benar-benar bisa merasakan karunia-Nya? Satu saja, nafasmu. Jika Tuhan dengan keadilanNya kemudian menghentikan nafas yang kau gunakan sehari-hari, kau bisa apa? Tak ada, selain menerima. Atau lainnya, jika satu saja anggota tubuh, misal kuku, dicabut nikmat sehatnya, bukankah kau akan mengeluh terus menerus seakan tak ada nikmat lain yang masih harus kau syukuri?

Lalu adakah alasan yang membuatmu tak mau berterima kasih padaNya?
“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?” Q.S. Ar-Rahman : 55